Berikut kesaksian hidup Ibu Lydia
Nursaid
Lydia Nursaid dan Suaminya Yongki D. Ramlan
Saya lahir dari keluarga
campuran. Bapak campuran antara Padang (Sumatera Barat), Arab, Italia dengan
nama Mohamad Said Bawasir dan Ibu Hasnur orang Madura (Jatim). Bapak saya anggota TNI. Setelah masuk tentara namanya menjadi Said Kelana.
Kami hidup dalam lingkungan yang biasa dididik “secara militer” dengan
kedisiplinan yang tinggi. Sejak kecil saya beserta dengan saudara
diarahkan menjadi seorang yang taat kepada agama yang kami anut
sekeluarga. Kami sekeluarga memiliki keyakinan, bahwa agama kamilah yang benar
dan diberkati Allah.
Lydia Nursaid Artis Penyanyi Populer Tahun 80 an, Mengikut Yesus
Saya juga terlahir dari keluarga musik. Bapak dikenal sebagai seniman musik yang konsisten di jalur R&B. Sebelum dikenal sebagai penyanyi solo, saya bergabung dengan saudara-saudara dalam band keluarga, The Big Kids dan pernah berduet dengan adik saya, Imaniar. Selain itu adik saya Iwang Noorsaid juga berkecimpung di dunia musik mengambil aliran mainstream jazz, dan adik laki-laki saya yang lain Inang Noorsaid terkenal sebagai drummer yang pernah bergabung dengan kelompok Band Emerald yang beraliran jazz dan God Bless yang beraliran rock. Dari enam anak-anak Said Kelana: Idham, Irommy, Lydia, Imaniar, Inang dan Iwang, kini praktis hanya Imaniar, Iwang dan Inang saja yang masih terjun di dunia musik komersial.
Nama Lydia meroket setelah berduet
bersama Imaniar tahun 1986 dan berhasil mencetak album hits. Selepas duo itu
bubar, Lydia dan Imaniar masing-masing sibuk dengan karir solonya. Setelah
sempat menjadi vokalis tamu di album Karimata, akhirnya saya merilis album solo
pertamanya dengan judul Lupakan Segalanya. Musisi-musisi kelas atas saat itu
seperti Youngky Soewarno, Addie MS, James F. Sundah dan Chandra Darusman
membantu menciptakan aransemen yang pas. Tidak begitu berhasil, tapi sempat
menjadi radio hits.
Suatu kali saya menghadiri sebuah
acara pemakaman. Saat menguburkan orang yang meninggal dalam agama kami
dikatakan, “Semoga arwahnya diterima sesuai amal ibadah-nya” sedangkan di
sebelahnya ada kuburan orang Kristen yang pada nisannya bertuliskan “RIP (rest
in peace) telah dipanggil oleh Bapak di sorga”. Dalam hati saya berkata, “Jadi
orang Kristen enak karena saat meninggal dipanggil Bapak di sorga”. Kalau di
agama saya belum tentu masuk sorga walau setiap hari rutin menjalankan sholat.
Seperti saya, setiap pk 5 pagi saya sudah bangun. Pk 6 ustad datang untuk
mengajar saya mengaji.
Saat menginjak remaja, saat itu saya
selalu “mendoktrin” pacar saya, agar masuk dalam agama yang saya anut. Namun,
saat saya berusaha mempengaruhinya, justru pada akhirnya saya
terbawa arus dan mengikuti Yesus Kristus. Tuhan Yesus telah menangkap
saya. Dan bersama pacar, saya dibaptis di salah satu gereja di Kota
Jakarta. Awalnya pacar saya itu orang Kristen yang suam-suam. Tetapi sejak saat
itu kami mulai aktif dalam beribadah.
Suami saya keturunan Tionghoa
bernama Yongki D. Ramlan (menikah 14 Februari 1988). Waktu berkenalan saya
belum tahu agamanya, namun akhirnya saya tahu papanya Budha dan mamanya Kong Hu
Cu. Saya yang dari muslim saja mau menerima Yesus, belakangan ia juga menerima
Yesus dan dibaptis bersama-sama dengan saya. Cara Tuhan ajaib. Sekali
tangkap 2 jiwa sekaligus. Sekarang ia hampir menyelesaikan tesis S2 Teologia di
Tiranus Bandung. Kami melayani di mana-mana sebagai penginjil. Saya menikah
tanpa setahu orang tua saya pada tanggal 14 Februari 1988.
Papa saya tahu kekristenan saya dari
berita pernikahan saya di surat kabar. Yang meliput berita pernikahan itu
adalah artis yang menjadi wartawan. Seperti juga Asmirandah dan Jonas, juga Lukman Sardi anaknya
Idris Sardi ketahuan dari Kristen karena media massa. Papa saya juga tahu saya
menikah dari surat kabar “Lydia Nursaid menikah”. Tapi ia melihat saya
pemberkatan nikah di gereja bukan di KUA. Saya dicari, rumah saya diketahui
padahal 3 tahun saya pergi tidak dicari tetapi sekarang ditangkap dan digebuki.
Babak belur. Papa saya ambil samurai. Suami saya yang baru 1 minggu menikah,
tidak boleh ikut.
Bapak saya tentara, keras. Waktu
mengetahui saya jadi Kristen, ia yang lebih dulu marah. Di keluarga saya banyak
mualaf , semua agama masuk muslim. Sekarang saya dipanggil murtadin karena
murtad. Waktu mau dibacok, bapak saya berkata, “Lydia kau mati saya
masuk penjara, tetapi saya tidak punya anak yang beragama Kristen” Waktu itu
saya berkata, “Sekalipun mati saya tidak akan tinggalkan Yesus, karena saya
tahu jalan satu-satunya masuk sorga hanyalah Yesus Kristus.” Saya berani bicara seperti itu,
karena ada ayatnya di Alkitab. Mereka tidak beriman pada Alkitab apalagi Injil. Kalau saya
ditanya mereka, saya bisa jawab. Tetapi bapak saya murka dan papa saya minta
saya berlutut, hitungan ketiga saya akan dibacok. Saya berlutut dan berdoa,
“Tuhan kalau saya mati rumah saya di surga. Tetapi kalau hidup pertemukan saya
dengan suami saya.” Baru seminggu pemberkatan sudah mau dibacok. Begitu berkata
amin, bapak saya jatuh. GUBRAK. Bapak saya ditomplok paman saya. Saya lari ke
lantai 3 ke kamar saya dan terjun dari lantai 3 dan terjun ke atap genteng
tetangga. Saya jadi buronon 3 tahun ke Bandung dan Tasikmalaya. Yang saya
lakukan adalah mengampuni dan mendoakan mereka. Saat datang ke rumah keluarga,
datang tidak hari biasa karena bisa dibacok. Datangnya lebaran, karena saat itu
datang tidak boleh bacok anak. Saya datangi dan diusir. Bapak saya berkata,
“Kau bukan anakku, karena darahmu Kristen, kau kafir.”, Saya pergi baik-baik,
tidak melawan tetapi tahun depan saya datang lagi. Seperti malam teraweh, puasa pertama, tidak boleh melakukan
kejahatan karena saya lakukan dulunya.
Setelah lebih dari 2,5 tahun
mengarungi rumah tangga, saya mendengar kabar, bahwa ayah dan ibu hendak
berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah. Namun, niatnya itu
diundur hingga dua kali. Dengan “tuntunan” Roh Kudus, saya memberanikan diri
datang ke rumah orang tua. saya terus berdoa agar mereka bisa
menerima saya kembali.
Saat kunjungan, ia mengatakan, “Kamu
sudah saya gampari, datang lagi datang lagi.” Saya datangi bapak ibu saya. Dia
bertanya,”Maumu apa?” Saya hanya berkata, “Abah dan umi mau pergi ke Timur
Tengah mau apa?” “Iya, saya mau hapus dosa. Di sana rumahnya Allah” Saya hanya
berkata, “Abah kalau mau hapus dosa bayarnya berapa?” Dia bilang,”Satu orang Rp
25 juta, dua orang dengan ibumu Rp 50 juta”. “Abah, mau tidak yang
gratis?” saya tawarkan. “Saya mau” dia pikir mau dibayarin saya. Saya
kenalkan nama Isa Almasih, dia berkuasa di bumi dan di surga. Dia mampu
menghapus dosa manusia. Saya tunjukkan ayatnya di Alkitab maupun di Al-Quran.
Bapak saya mengusir saya, “Cepat pergi sebelum saya berubah pikiran”. Buru-buru
saya kabur daripada dibacok.
5 hari kemudian bapak saya datang.
Suasana mendekati Idul Adha (lebaran haji). Ia bilang, “Yang kamu bilang betul.
Kalau orang yang seperti saya mampu bayar sehingga bisa menghapus dosa
sedangkan yang miskin sampai mati tetap berdosa.” Saya berkata dalam hati, “Dia
tanya, dia sendiri yang menjawab.” Saya tidak mempengaruhi yang demikian keras
karena kita menginjil dengan kasih. Melalui hidup dan perkataan kita saja. Ia
berkata, “Lydia, kalau memang Isa Almasih bisa menghapus dosa saya, hari ini
juga saya mau menjadi Kristen.” Saya tantang “Bisa! Kapan?” Hari itu juga
langsung saya ajak ke pendeta. Papa menerima konseling, semacam
katekisasi. Akhirnya bapak mau menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamat dan dibaptis. Perjalanan ibadah pun dibatalkan. “Saya
bersyukur!” di saat-saat terakhir ayah saya mau menerima dan percaya kepada
Tuhan Yesus Kristus. Dan saya sungguh berbahagia menyambut pertobatan ayah,”
katanya.
Setelah bapak menjadi Kristen, ibu saya mengusirnya. Sebagai kompensasinya ibu
naik haji 3 kali setiap tahun. Semua adik perempuan saya (termasuk Imaniar)
sudah berhijab. Di Jakarta ada gereja Padang dan saya perkenalkan ke ibu saya.
Setelah 23 tahun berdoa kemudian, barulah ibu saya dibaptis. Saat itu usianya
sudah 76 tahun. Di Jakarta ada gereja Minang yang memakai bahasa Padang.
Setelah usai ibadah, jemaat diajak nyanyi “Kampuang Nan Jauh Di Mato” (ciptaan
A. Minos) agar jemaat mengingat orang-orang yang belum percaya di kampung
halaman. Setelah masuk Kristen, ibu saya sekarang mengecat rambutnya. Bebas
merdeka. Kalau dulu jadi haji, ia tidak boleh mengecat rambut karena tidak
tembus air wudu (air sembayang). Sedangkan bapak saya setelah masuk Kristen ,
tertawa terus karena dosanya sudah diampuni.
Abang paling besar (Idham), istrinya mantan Kristen karena mau kawin. Tapi
abang saya ini dari Muslim jadi Kristen padahal istrinya sudah jadi Muslim.
Demikian pula dengan anaknya (keponakan saya) sudah menerima Kristus dan
dibaptis.
Saya mempunyai hati misi, karena
keluarga saya sudah Tuhan selamatkan. Sebelum keluarga saya diselamatkan saya
sudah pelayanan ke Kalimatan. Di sana, anak-anak jemaat disekolahkan dengan
biaya dari islamic centre karena tidak ada sekolah Kristen di pedalaman sana. Saya
datang membawakan Injil menguatkan iman mereka agar orang tua yang mualaf
kembali. Saya pelayanan di pedalaman seperti di papua dan di Toraja.
Tidur di mana saja, tidak masalah yang penting Injil diberitakan. Di Kalimantan
Barat daerah Amsangdarif. Daerah saya tidur di bawahnya ada kandang babi dan
babinya mengorok. Jadi yang ngorok babi duluan. Hal ini karena pendeta tempat
saya tinggal memelihara babi. Karena untuk kehidupan mereka tidak ada sawah.
Untuk mandi di Kalimantan harus pergi ke Sungai Kapuas. Saat sedang menyikat
gigi dan menyendok air tiba-tiba ada kotoran manusia lewat. Di NTT jalanannya
hancur dan mandi seminggu sekali di Sumba, NTT. Waktu mau KKR di Weiha
tidak ada listrik. Sudah 24 tahun tidak ada listrik. Karena gelap, cahaya
didapat dari pakai lampu mobil yang distarter. Waktu KKR anak-anak, tidak
ada ibu-bapaknya yang datang karena orang tua nya sudah muslim. Ini daerah
Oekam, Onlasi, Kupangsoe. Waktu saya tanya siapa yang mau pendeta dan vikaris?
anak-anak kecil itu maju. Ada anak kecil maju dan saya bertanya “Orang tua
kemana?” Anak itu menggambarkan dengan tangan mereka bahwa ibunya sudah memakai
jilbab agar dikasih rumah yang ada listrik. Dikasih gratis asal pindah iman.
Rumah yang asli tidak ada listrik selama 24 tahun dan campur babi. Saya tanya
mengapa om tidak pindah? Dijawab, “Buat saya Yesus lebih berharaga” Om ini
tidak pindah rumah karena tetap pegang Yesus.
Kita punya Allah yang ajaib. Allah
yang kita sembah, lebih dari segalanya. Itu yang saya alami. Saya yang jadi
Kristen pertama kali di keluarga. Ini kesaksian hidup saya, true story.
Keluarga yang mau bunuh dan bacok saya dan saya jadi buronan 3 tahun, tidak
berani ke Jakarta. Tapi saya hidup untuk Tuhan, saya setia. Akhirnya saya boleh
beritakan Injil. Keluarga bertobat satu per satu. Masih ada 4 saudara kandung
saya yang belum terima Yesus. Ini yang menjadi pokok doa saya. Dengan Injil
yang kita tabur, maka kita akan menuai jiwa-jiwa. Kita beritakan Injil, baik
atau tidak baik waktunya. ... Saya mau ikut Yesus selama-lamanya, meskipun saya
susah, saya mengikut Yesus selama-lamanya. Doakan pelayanan saya. Doakan
keluarga saya dan penginjilan-penginjilan. Terima kasih.